Indonesian Legal System: Kasus Sengketa Fotografi

INDONESIAN LEGAL SYSTEM

STUDI KASUS SENGKETA FOTOGRAFI
MEDIA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hak cipta ada setelah ditemukannya mesin cetak yang dapat memperbanyak karya tulis hasil ciptaan seseorang, oleh seorang penemu bernama Guttenberg. Sebelumnya, proses pembuatan karya tulis membutuhkan biaya dan tenaga yang hampir sama dengan ketika sang pencipta membuat karya nya yang orisinil. Dari sinilah para penerbit memanfaatkan kesempatan ini untuk pertama kali menjadi pemegang hak untuk memperbanyak karya tersebut serta dapat mengatur peredarannya. Tahun 1970, dengan berlakunya Statue of Anne di Inggris, akhirnya hak dasar kepemilikan karya cipta asli harus dimiliki oleh pencipta, yang dialihkan dari penerbit dengan menekankan perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa setelah transaksi jual beli berlangsung, penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya tersebut.

Bern Convention for the production of Artistic and Literary Works (“Konvensi Bern”) pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright (hak cipta) diantara Negara-negara yang beerdaulat. Dinyatakan bahwa Copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta dan pengarang tidak harus mendaftarkan karya nya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan didalam suatu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga hak derivatifnya (hak derivatif adalah hak untuk memindahkan (to derive) suatu karya cipta ke dalam bentuk yang baru. Ada dua macam tindakan derivatif yang dibenarkan berdasarkan Pasal 8 Akta hak cipta ini, yaitu :
1. Terjemahan, susunan, penyesuaian dari karya sastera, musik atau seni ;
2. Koleksi karya sastera musik atau seni yang karena penciptaannya dianggap bagian dari hak kekayaan intelektual. Dalam konteks yang kedua ini kumpulan cerita rakyat, kumpulan puisi dapat dilindungi berdasarkan hak cipta.

Di Indonesia, Perdana Mentri Djuanda menyatakan Indonesia Keluar dari Konvensi Bern pada Tahun 1958 agar bangsa Indonesia tidak harus membayar royalti hanya untuk menikmati hasil karya, cipta dan karsa bangsa asing. 24 tahun kemudian, pengaturan hak cipta yang dianut bangsa Indonesia berdasarkan Auterswet 1912 staatsblad nomor 600 tahun 1912 pun dicabut oleh pemerintah, dan mulai menetapkan Undang-Undang nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta pertama di Indonesia, yang kemudian diubah lagi menjadi undang-undang no 7 tahun 1987. Tahun 1994, pemerintah melakukan ratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Inellectual Propertyrights atau disingkat TRIP’s (“Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual”) Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk undang-undang nomor 7 tahun 1994. Pada tahun 1997, keputusan presiden nomor 18 berujung pada ratifikasi Konvensi Bern, menyusul peratifikasian World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (“Perjanjian Hak cipta WIPO”) Melalui keputusan Presiden nomor 19 tahun 1997, dan pada akhirnya berujung pada undang-undang Nomor 19 tahun 2002, yang aktif sejak 29 juli 2003 lalu.

Berlandaskan dasar-dasar pengetahuan tersebut, Hak Cipta kerap kali bersinggungan dengan hukum-hukum perdata, bahkan Pidana (dikarenakan kepentingan hak cipta berhubungan dengan kepentingan perseorangan tentang sejauh apa hak nya akan suatu ciptaan dan hubungannya dengan pemanfaatannya oleh pihak lain) Salah satu contoh kasus yang kami telisik adalah kasus sengketa fotografi diantara Media Indonesia dan Michael F.E Sjukrie., seorang instruktur selam yang diminta oleh tim ekspedisi Media Indonesia untuk mengawasi tim ekspedisi Media Indonesia sehubungan dengan pemotretan bawah laut di perairan Sorong, Papua, untuk keperluan dokumentasi program. Dalam ekspedisi tersebut, hadir pula Adam Dwiputra, seorang fotografer Media Indonesia. Selama ekspedisi berlangsung, Michael menggunakan kesempatan ini untuk juga mengabadikan gambar-gambar visual bawah laut. Pada kali yang sama, sesekali Michael meminjamkan kameranya kepada Adam. Seusai ekspedisi pun, kedua orang ini saling membahas dan melihat hasil jepretan mereka masing-masing, dan bertukar-tukar foto yang menurut mereka menarik. Yang menjadi masalah, pada tanggal 27 Februari 2005 sebuah suplemen berita dari Media Indonesia terbit dengan Judul “Panorama Papua” yang menggambarkan keindahan laut sorong dimana terdapat beberapa foto-foto yang diakui oleh Michael adalah hasil jepretannya, tapi tertulis atas nama Adam yang menyebabkan kasus persengketaan hasil karya fotografi mereka pun mulai bergulir
Kasus sengketa hak Cipta –dalam hal ini, fotografi- memang sangat dilematis, pertimbangan-pertimbangan yang bersifat objektif pun terkadang agak sulit untuk diaplikasikan, dikarenakan pandangan dari sudut yang berbeda, akan menggambarkan keadaan yang sama tapi dengan jawaban yang berbeda pula. Tim ekspedisi Media Indonesia dengan kekuasaan yang besar sebagai salah satu raksasa media massa melawan seorang instruktur selam yang menuntut haknya atas ciptaan yang ia abadikan dalam bentuk fotografi; tidak ada lebih benar dan tidak ada pula yang lebih bersalah. Kedua pihak ini memberikan gambaran yang cukup signifikan mengenai nilai suatu hak cipta bagi pemiliknya, dan bagaimana sebuah hal yang kita anggap tidak terlalu penting dapat menjadi sebuah perkara yang besar, yang dapat menjadi sandungan.

1.2 Perumusan Masalah
1.2.1. Apakah dengan adanya Undang-Undang Hak Cipta dapat membantu perkara kepemilikan hak cipta atas karya seseorang, khususnya sengketa masalah hak cipta?
1.2.2. Bagaimanakah cara untuk menindak-lanjuti ketidak –seimbangan antara Hukum Hak cipta yang diharapkan dapat terimplikasi secara harafiah tapi bertentangan dengan fenomena masyarakat yang terjadi dalam hal memanfaatkan kreasi ciptaan pihak lain, khususnya di ibukota Jakarta?


1.3 Tujuan
Kelompok Kami memilih kasus ini dikarenakan Kasus ini bersinggungan dengan Media yang berhubungan erat dengan faktor-faktor pendukung pengolahan suatu bentuk berita, yang termasuk di dalamnya element fotografi sebagai kesaksian hidup yang bukti keabsahannya harus jelas dan memiliki nilai, yang merupakan objek hukum yang berkaitan erat dengan penciptanya sebagai subjek hukum, yang merupakan wujud dari penghayatan hukum Undang-Undang Hak Cipta berkaitan dengan Fotografi sebagai Kreasi Ciptaan. Oleh karna itu, Setiap subjek hukum (dalam hal ini pemilik karya cipta yang menciptakan suatu kreasi, ide yang unik dan bersifat individualis) memiliki hak untuk menyebarkan dan menggunakan karya nya sendiri, bisa menuntut atau mengajukan perkara terhadap pihak-pihak yang melanggar haknya. Ujung dari kasus ini bisa berupa denda berupa biaya ganti rugi dengan nilai yang bisa jadi sesuai atau bahkan melebihi nilai dari karya cipta itu sendiri, mengingat kita membahas mengenai hasil pikiran orang lain yang harus diakui, yang sangat tipis batasannya antara plagiarism atau bahkan lebih buruk, pelanggaran hak cipta (copyright violation).

Makalah ini dibuat berdasarkan hukum Undang-Undang Hak Cipta no 19 tahun 2002, yang didalamnya menjelaskan posisi hukum seorang pemilik karya cipta serta hubungannya dengan pengguna/penikmat karya tesebut. Hukum Indonesia telah memberikan ruang bagi orang-orang untuk berkarya, namun hukum itu sendiri harus memiliki celah untuk mengendalikan serta mengatur kebijakan-kebijakan yang bisa menilik kepemilikan dan keorisinilan karya seni orang tersebut, dimana hal ini dapat menjadi Yursiprudensi yang penting bagi penegakan hukum hak cipta, terutama Hak cipta atas karya Fotografi.


1.4 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini dibahas mengenai sistem hukum yang terjadi didalam kasus ini dengan mencantumkan pasal-pasal yang berkenaan dengan kasus sengketa tanah tersebut.

BAB III ANALISIS PEMBAHASAN
Dalam bab ini menguraikan bagaimana hakim kasus ini terjadi serta bagaimana hakim memutuskan perkara perdata ini (sengketa tanah meruya).

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menyimpulkan hasil pembahasan perkara sengketa tanah meruya.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Penjelasan teori mengenai Undang-undang Hak Cipta
atas Potret
Teori-teori yang mendukung pelaksanaan yang terkait dengan Hak Cipta mengenai masalah potret (fotografi) tertera dalam Undang-undang NOMOR 19 TAHUN 2002 BAB II Lingkup Hak Cipta bagian Ke-enam yaitu Hak Cipta atas Potret yang mencakup pasal 19 – 23 dan berikut adalah penjelasan yang terkait:

Bagian Keenam
Hak Cipta atas Potret

Pasal 19
(1) Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
(2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam potret itu,
Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
(3) Ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c. untuk kepentingan orang yang dipotret.

Pasal 20

Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan potret yang dibuat:
a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
c. tidak untuk kepentingan yang dipotret, apabila Pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal dunia.


Pasal 21

Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk diumumkan atas seorang Pelaku atau lebih dalam suatu pertunjukan umum walaupun yang bersifat komersial, kecuali dinyatakan lain oleh orang yang berkepentingan.

Pasal 22

Untuk kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses peradilan pidana, Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat diperbanyak dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.

Pasal 23

Kecuali terdapat persetujuan lain antara Pemegang Hak Cipta dan pemilik Ciptaan fotografi, seni lukis, gambar, arsitektur, seni pahat dan/atau hasil seni lain, pemilik berhak tanpa persetujuan Pemegang Hak Cipta untuk mempertunjukkan Ciptaan di dalam suatu pameran untuk umum atau memperbanyaknya dalam satu katalog tanpa mengurangi ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 apabila hasil karya seni tersebut berupa Potret.
2.2 Pembahasan lebih lanjut mengenai teori-teori pendukung Undang-undang Hak Cipta atas potret (fotografi)

2.2.1 Pasal 19
Ayat (1) Tidak selalu orang yang dipotret akan setuju bahwa potretnya diumumkan tanpa diminta persetujuannya. Oleh karena itu ditentukan bahwa harus dimintakan
persetujuan yang bersangkutan atau ahli warisnya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.

2.2.2 Pasal 20
Dalam suatu pemotretan dapat terjadi bahwa seseorang telah dipotret tanpa diketahuinya dalam keadaan yang dapat merugikan pihaknya.
2.2.3 Pasal 21
Misalnya, seorang penyanyi dalam suatu pertunjukan musik dapat berkeberatan jika
diambil potretnya untuk diumumkan.
2.2.4 Pasal 22
Cukup jelas.
2.2.5 Pasal 23
Cukup jelas.
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1. Kasus
Karya fotografi merupakan salah satu bentuk cipta kreasi yang dilindungi oleh Hak Cipta. Jangan pernah coba memublikasikan atau menggunakan foto karya orang lain tanpa seijin fotografer yang bersangkutan. Akibat hukumnya bisa jadi akan sangat memberatkan.
Majalah Berita Mingguan Tempo, edisi 9 April 2006, pada halaman 88 memuat artikel tentang kasus gugatan hak cipta yang melibatkan seorang fotografer bawah laut melawan Harian Media Indonesia. Kasus bermula ketika pada bulan Februari 2004 lalu, Michael F.E. Sjukrie, seorang instruktur selam, diminta menjadi pengawas selam oleh tim ekspedisi Metro TV yang akan mengadakan peliputan panorama bawah laut di perairan Sorong, Papua. Dalam tim tersebut ikut pula fotografer Media Indonesia, Adam Dwiputera.
Di sela-sela menjalankan tugasnya, Michael mengabadikan panorama bawah laut dengan menggunakan kamera khusus bawah air miliknya. Sesekali Michael meminjamkan kamera tersebut kepada Adam. Malam harinya, mereka terlibat diskusi tentang foto-foto tersebut, sekaligus saling bertukar foto.

Pada 27 Februari 2005, Media Indonesia menurunkan suplemen berjudul "Panorama Papua", dengan memuat beberapa foto hasil jepretan Michael. Tetapi foto-foto itu ditulis atas nama Adam, beberapa bahkan disebut sebagai "istimewa" tanpa menyebutkan nama Michael.
Merasa dirugikan, Michael menghubungi Adam dan meminta dilakukan ralat. Janji Adam untuk segera melakukan ralat tidak kunjung terpenuhi, malahan pada tanggal 15 Juni 2005 tampil lagi sebuah foto milik Michael di harian yang sama. Lagi-lagi atas nama Adam. Michael kemudian menunjuk lawyer untuk mengurus kasus pelanggaran hak cipta tersebut. Michael meminta foto-fotonya dibayar cukup besar, karena menurut dia, disamping membutuhkan peralatan khusus, foto-foto tersebut tergolong sebagai foto moment, karena merekam momen yang tidak dapat diulang lagi.
Upaya perundingan dan damai yang diupayakan tidak membuahkan hasil. Pada awal Juli 2005, Media Indonesia sempat memuat permintaan maaf sehalaman penuh dan memuat lengkap foto-foto karya Michael. Perkara tersebut menggelinding ke meja Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Melalui putusan yang dikeluarkan Oktober 2005, PN Niaga memenangkan Michael dan menghukum Media Indonesia membayar ganti rugi kepada Michael sejmlah Rp.120 juta.

Merasa tidak puas, Media Indonesia mengajukan upaya hukum kasasi. Lagi-lagi, Media Indonesia harus menerima kenyataan pahit. Mahkamah Agung pada 18 Januari 2006 justru menguatkan putusan pengadilan Niaga yang memenangkan Michael. Cuma, besarnya ganti rugi diperkecil menjadi Rp. 45 juta 'saja'.
Media Indonesia melalui kuasa hukumnya menyatakan kemungkinan mereka akan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

3.2 Analisis kasus
Hak cipta dapat memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan, ini pula yang terjadi kepada Michael. Begitu dia melihat karyanya di pajang di Media Indonesia tanpa seijinnya, Michael merasa bahwa dia berhak untuk membatasinya, dan kemudian menghubungi pihak Adam. Kemudian karena tidak digubris, maka Michael berhak melakukan gugatan, dan hal ini sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002, pasal 56 (1) yang berisikan “Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.”
Adam dinilai melakukan pelanggaran hak cipta, yang berarti Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Adam tidak berhak untuk mempublikasikan foto yang bukan miliknya, dan Michael sebagai pemilik sah dari foto itu berhak untuk melarang Adam mempubilkasikannya lagi apalagi menggunakan namanya atas foto ciptaan Adam, hal ini berkaitan dengan Undang Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002 bab 2, pasal 2 yang mengatur tentang ruang lingkup hak cipta yang isinya adalah:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Adam sempat mengajukan upaya hukum kasasi atas keputusan yang keluar pada bulan Oktober 2005, namun tetap saja tidak memberikan kemenangan di pihaknya, karena Adam terbukti tidak meminta izin atas publikasi yag dilakukan olehnya terhadap karya Michael. Foto hasil karyanya pun dinilai sebagai hak cipta, berdasarkan pasal 12 yang berisi:
1. Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Sebenarnya, hal ini tidak akan berlanjut ke sidang jika saja Adam mencantumkan nama Michael di setiap foto yang dipublikasikan, demikian pula yang dituntut oleh Michael. Dalam hal ini Michael menuntut hak moralnya, yang artinya adalah hak pencipta atau ahli warisnya untuk menuntut pemegang hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya. Selain itu, sebenarnya menurut teori pengertian Hak Ekonomi, hak hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait, setidaknya Michael mendapatkan imbalan yang berbentuk manfaat ekonomi dari publikasi karyanya, yang pada kenyataannya tidak didapatkan oleh Michael.
Namun, jika dianalisis lebih dalam, oihak Michael sebenarnya memiliki sisi lemah, karena pihaknya belum secara resmi mendaftarkan karyanya secara resmi, dan ini pula yang menurunkan nilai gugatanya kepada Adam dari 120 juta rupiah, menjadi 45 juta rupiah saja.
Di sisi lain, ada beberapa titik kuat dari dasar tuntutan Michael. Yaitu:
a. Adanya pasal pasal mengenai Hak Cipta
b. Pihak Michael sebelumnya sudah melakukan upaya penanggulangan masalah dengan cara menghubungi Adam untuk menaruh namanya dalam publikasinya yang ternyata tidak digubris
c. Bahwa foto merupakan salah satu karya yang termasuk dalam jenis hak cipta
Dari pihak Adam, yang menjadi berkurangnya nilai tuntutan dari sebelumnya, dikarenakan:
a. Gambar yang dipublikasikannya belum terdaftar secara resmi
b. Adanya upaya untuk meminta maaf di media Indonesia dan mencantumkan nama sang pemegang Hak cipta meskipun setelah melakukan peringatan beberapa kali.

BAB IV
KESIMPULAN & SARAN

4.1 Kesimpulan
Undang-undang hak cipta sangat membantu perkara kepemilikan hak cipta atas seseorang, karena undang-undang ini di buat untuk melindungi suatu ciptaan yang ada. Agar para pencipta seni merasa hasil karya mereka terlindungi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan mencuri dan mengatas namakan sebuah hasil karya tersebut.

Didalam undang-undang hak cipta (UU no. 19 th 2002) menyatakan bahwa hak cipta adalah, hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku(pasal 1 butir 1).

Dalam study kasus yang kami bahas mengenai sengketa fotografi Media Indonesia, mutlak adanya bahwa suatu undang-undang hak cipta dapat membantu permasalahan ini. Karena ini berkaitan dengan suatu karya seni photography. Karya fotografi merupakan salah satu bentuk cipta kreasi seni yang dilindungi dan di landasi oleh hukum Hak Cipta.
Jangan pernah coba memublikasikan atau menggunakan foto karya orang lain tanpa seijin fotografer yang bersangkutan.

Banyak masyarakat yang kurang paham dengan apa yang dimaksud dengan pelanggran terhadap hak cipta itu sendiri. Banyak yang menganggap pelanggaran hak cipta hanya menggandakan suatu ciptaan pencipta yang ada / orisinil.
Anggapan tersebut tidak salah, karena pengertian pelanggaran hak cipta itu sendiri adalah suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Jika seorang pencipta merasa haknya dilanggar, pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri atas pelanggaran Hak Ciptanya. Karena nilai sebuah karya seni sangat lah mahal, jadi sudah menjadi hak kita sebagai seorang pencipta karya tersebutbila seseorang ada yang mengatas namakan karya kita dengan nama mereka.
Tindak Pidana dibidang Hak Cipta dikatagorikan sebagai tindak kejahatan Ancaman Pidana dalam UU Hak Cipta diatur dalam Pasal 44 UU Hak Cipta. Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).

4.2 Saran
Menurut kelompok kami, sebaiknya setiap pencipta sebelum menerbitkan hasil karya mereka, atau bahkan lebih baik sebelum memperlihatkan karya mereka kepada orang lain, karya tersebut sudah mereka beri label dengan nama mereka agar semua orang tau bahwa kita lah yang menciptakan karya tersebut.
Seperti contohnya, jika hasil karya itu adalah sebuah foto, jadi alangkah baiknya jika foto kita tersebut kita tuliskan nama kita, agar semua yang melihat tahu bahwa itu adalah hasil karya kita. Dan juga agar tidak ada yang dapat mengaku-ngakui bahwa itu adalah karya orang lain,

karna di foto tersebut sudah bertulisan Lambang © (yang merupakan lambang Unicode) beserta nama kita sebagai pencipta.
Dan juga jangan mudah percaya kepada orang lain, bahkan orang terdekat sekalipun. Karena hati dan otak manusia tidak ada yg dapat menebak. Lebih baik simpan hasil karya kita dengan baik, sebelum adanya tulisan atau label yang menyatakan bahwa kita adalah pencipta dara sebuah karya.
Dan juga, untuk para pencuri hasil karya orang lain, sebaiknya ciptakan sebuah hasil karya sendiri, jangan mencuri hasil karya orang lain. Selain haram hukumannya, namun juga berat hukumannya jika terbukti mencuri, yaitu hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah.


0 Response to "Indonesian Legal System: Kasus Sengketa Fotografi"

Posting Komentar